October 30, 2008

Kembali pada Langit

Posted in puisi-puisi dari buku saya at 8:58 am by Fadilla

Kembali pada langit
bukan berarti mati
sepucuk surat dari langit
berpesan untuk hidupku

“masa lalu telah selesai
kini masamu yang baru
tidakkah kau lihat?
sepucuk surat ini untukmu
jagalah, dan mengertilah isinya”

-masih dengan gaya yang pongah-

Tutur apa yang mencoba
membuka topengku untuk melihat isiku?
Ini aku dan topeng
apa urusanmu?

Aku masih egois
tapi aku simpan petuahmu
kelak mungkin pintuku terbuka
Dan aku akan mengerti
ini tentang kembali pada langit
bukan kebodohan pada topeng
tapi melihat diri dalam ketelanjangannya
tanpa malu,
dan akulah penantang dunia

October 23, 2008

Seberapa Fatal Penggunaan Bahasa (1)

Posted in Ngomong ah... at 3:53 am by Fadilla

Sesuatu yang enggak kita sadari dan akhirnya menjadi sebuah budaya yang ujung-ujungnya salah kaprah. Inilah hal yang sering kali terjadi dalam penggunaan bahasa khususnya bahasa Indonesia. Dimana anak muda jaman sekarang sepertinya mulai tidak peduli lagi dengan istilah “Tiap kata itu doa”. Jadi, jangan heran ketika kita salah dalam menyusun kata dan menimbulkan penafsiran lain. Jangan heran maka bangsa Indonesia ini hancur dengan sendirinya gara-gara penggunaan kata yang gak tepat dengan penafsiran yang semestinya.

Mulai dari kesalahkaprahan yang pertama yang saya kutip dari teman-teman saya saat mata kuliah Pancasila. Dosen pancasila saya menjelaskan bahwa dalam sebuah pasal pada UUD 1945 dinyatakan, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Selintas saya pikir gak ada yang salah dengan pasal ini. Dan ketika dosen ini bertanya “Kenapa justru anak terlantar dan fakir miskin semakin banyak? Bukannya semestinya berkurang?” Kontan salah seorang teman saya langsung menimpal “Jelas aja lah, Bu. Coba deh, Ibu, melihara kucing. Tambah banyak kan? Nah, bukannya hal yang sama juga terjadi pada negara? Ketika negara memelihara anak terlantar, otomatis tuh anak bakal makin banyak kan, Bu?” Dan kontan semua mahasiswa (cieh mahasiswa) langsung tertawa dan setuju dengan argument itu. Dosen pun hanya menggeleng-geleng, untungnya gak keliatan marah.

Satu kesalahkaprahan lagi. Saya mengutip dari sebuah buku “Kenapa Saya bukan Aku” yang ditulis oleh Dr. Acep. Beliau mengutip singkatan “p” pada TPA, alisan beliau mengutip kata “pembuangan”. Ada yang tahu kepanjangan TPA? (saya, saya, saya). Aduh, sabar dong. Ya, nona yang berbaju pink.

Nona yang berbaju pink pun menjawab “Hmm, sepengetahuan saya ya, Pak. Dari berbagai data dan informasi yang telah saya telusuri sebelum-sebelumnya. TPA itu merupakan singkatan, Pak. Pada dasarnya penyingkatan ini bertujuan biar masyarakat gak geli aja siy, Pak. Jadi gak usah bertele-tele lagi deh, Pak. Saya langsung jawab aja yah. TPA itu singkatan dari Tempat Pembuangan Akhir”

(dalam konteks di atas, apakah Anda tahu siapa yang bertele-tele?)
Jadi ngawur gini. Lanjut…
Apa yang salah pada kata “Pembuangan”? Bukannya sampah itu memang betul-betul dibuang? Terus, apa yang jadi bahan kritikan?

Begini, menurut sang penulis (saya mencoba menjelaskan dengan bahasa saya, mungkin tidak akan sama dengan tulisan si penulis) begitu terdengar kata “Pembuangan”, apa sih yang tersirat? (saya, saya, saya). Sebenarnya saya gak mau nunjuk lagi, tapi ya sudahlah. Mas yang pake kemeja ijo

Mas dengan kemeja ijo menjawab”Ehm…, eh anu, eh gimana yah?? Assalamualaikum, nama saya Radenmas Kartadiporo, biasa dipanggil Raden”, sambil menghela napas “Hmmm, nganu, saya kalo denger kata “Pembuang”, yowis udah harus dibuang. Udah gada artinya lagi, dan saya biarin aja ada di tempat sampah.”
(ternyata mas yang satu ini jauh lebih parah ya daripada nona yang tadi, mana medok pula)

Nah, that’s it! Ngerti kan?? Kalo kita bayangkan suatu tempat yang bernama “Tempat Pembuangan Akhir”, dengan kata lain tempat tersebut merupakan suatu tempat dimana segala sampah bersatu dan dibiarkan begitu saja. Menjijikkan!

Berdasarksan tulisan yang ditulis si penulis dan dibaca oleh si pembaca, beliau memberikan ide. Bagaimana kalau “p” pada singkatan TPA diganti, bukan “Pembuangan”, melainkan “Pengolahan”. Jadi terkesan lebih indah bukan? Coba deh, waktu denger kata “Pengolahan” apa yang tersirat? (saya, saya, saya). Aduh, maaf langsung saya jawab aja, kasian pembacanya bosen. Kalo denger kata “Pengolahan” berarti barang itu tidak akan berhenti disitu. Barang itu tidak akan ditinggalkan. Malah sebaliknya, dengan adanya kata “Pengolahan”, menurut penulis akan memberikan dampak yang jauh lebih positif. Ide kreatif masyarakat untuk mengolah sampah lebih hebat. Dan TPA bukan lagi menjadi sebuah tempat perhentian, melainkan berubah menjadi tempat segala kreativitas bersatu dan mendaurkan sampah-sampah itu. Sungguh luar biasa kalau hal ini terjadi!

(maaf kalo banyakan kata-kata yang gak penting)

Ariel Peterpan “Terbang”

Posted in Ngomong ah... at 3:49 am by Fadilla

Minggu, 19 Oktober 2008 kemaren, bertempat di pantai karnaval Ancol. Peterpan mengadakan konser, yang kalo menurut saya ini adalah konser terbesarnya Peterpan. Turut menghadirkan: Pasha Ungu, Ryan D’Masiv, dan Giring Nidji. Keren banget gak tuh bintang tamunya? Belom lagi kedatangannya sang legenda Iwan Fals yang ikut hadir memeriahkan acara yang bertajuk “Sebuah nama, sebuah cerita” ini.

Acara ini diklaim sebagai konser live terakhirnya Peterpan. Hiks, gw sedih banget kalo inget itu. Tapi, ya sudahlah kita lanjut.

Sebagai lagu pembuka, Ariel cs (nama band-nya tetep Peterpan kok, bukan Ariel cs) membawakan “Cobalah Mengerti” yang beat-nya luar biasa bikin ngos-ngos-an tuh lagu. Tapi hebatnya, karakter suara Ariel semakin kuat saja. Pada lagu-lagu berikutnya yang memiliki nada tinggi juga seperti “Kisah Cintaku”, “Khayalan Tingkat Tinggi” dan “Tak Ada yang Abadi” kesemuanya benar-benar dapet fil-nya. Biarpun kata orang Bandung mah gogorowokan, tapi gada nada yang meleset. Salut buat Ariel!
Pasha Ungu hadir pada lagu “Ku Katakan Dengan Indah” dan “Topeng”. Sayang, sepertinya latihan yang dilakukan oleh Pasha kurang pol-polan. Alhasil, banyak lirik yang lupa. Untung saja karakter Pasha udah begitu familiar. Jadi, mau tampil gimana aja tetep bagus kok.

Giring Nidji tampil dan membawakan lagu “Tak Bisakah”. Lagi-lagi disayangkan, lagu yang dibawakan kurang cocok sama karakter suaranya Giring. Dan lagi-lagi, kurang maksimal.

Yang gak diduga-duga, Ryan D’Masiv, sebagai pendatang baru di belantika music Idonesia, menyuguhkan penampilan yang Two Thumbs Up. Ryan membawakan lagu “Dibelakangku”, dan gak tahu kenapa karakter suaranya pas banget sama lagu ini. Lagu ini jauh lebih mellow dan memberikan nuansa yang sangat berbeda dari yang pernah Ariel bawakan. Salut buat Ryan!

Sang legenda, Iwan Fals, hadir pada saat membawakan lagu “Yang Terdalam”. Sumpah, namanya juga legenda, tuh lagu dibawain meuni ngenaheun pisan. Dengan iring-iringan harmonica yang sudah menjadi ciri khas Bangh Iwan Fals, menambah maknyus tuh lagu. Gak salah deh disebut sang legenda. Salut!

Dan yang gak kalah heboh. Pada lagu “Bintang di Surga”, Ariel membawakannya dengan luar biasa pas ending-nya. Awalnya sih hanya nyanyi biasa, tapi menjelang lagu habis… (dag dig dug) tiba-tiba Ariel mendadak lebai. Gak kaya biasanya deh. Tiba-tiba berlutut dan membelakangi penonton sambil mengakhiri lagu dengan teriak (mengambil nada yang ekstrem tingginya) “Bintang di Surga…!!!”. Ariel berteriak dan lunglai lalu berbaring. Awalnya saya gak ngerti kenapa. Tapi, setelah view kameranya ganti dan ngambil gambar dari atas. Wew, Ariel terbang. Yep, Ariel berbaring di atas panggung yang uda disiapin gambar sepasang sayap yang sekarang menjadi lambang sementara Peterpan. Sumpah!! Dahsyat abis tuh konsep. Mana gambar sayapnya tuh proporsional banget kalo ditempelin ke punggung si Ariel. Jadi, kayak malaikat gitu. Ariel…!!!

October 8, 2008

Untuk Cerita

Posted in puisi ngetik langsung at 1:10 pm by Fadilla

Nelangsa merundung sukma
Hamparan gersang dari cerita
Berai menjadi derai air mata
Tangis yang terselubung hati
Menahan rasa yang meledak
Sebentuk penolakkan
Tak semestinya begini

Gemuruh menggetarkan langitku
Selubung-selubung amarah
“Dunia macam apa ini?”
“Menghardikku secara paksa”

-Meredam amarah-

Sepenggal kenyataan tak mungkin berganti
Tapi sepenggal keajaiban masih mungkin kunanti
Bila mungkin ada segores cerita yang sama
Dan keajaiban itu untukku
Untuk derai air mata yang terpaksa mengalir
Untuk cerita yang tak seharusnya